"....Ada bagian dari diriku yang mengatakan kalau aku tidak boleh melupakannya. Tanpa kuhendaki, diriku selalu memaksakan diri untuk mengingatnya. Berusaha keras untuk mengingatnya, sampai tak jarang kepalaku terasa sangat sakit.. Aku merasa... dia begitu penting bagiku dan tak boleh aku lupakan.. Aku tak pernah bisa mengingat wajahnya. Tapi ada sesuatu dari dirinya yang tak bisa aku lupakan, maka setiap aku bertemu dengannya aku bisa tahu dia orang yang sama..
Aku tak bisa mengingat apa yang telah aku lalui bersamanya. Tapi sepertinya aku telah melakukan berbagai hal yang menyenangkan bersamanya, aku bisa tahu dari diary-ku yang kutulis setiap hari ini. Kalau saja aku tak menulisnya, mungkin aku tak pernah tau kalau aku pernah bertemu dengannya. Aku tambah kesal dengan ingatanku yang selalu hilang setiap 24 jam ini.. Sangat menyusahkanku!
Aku tak boleh melupakannya.. Aku ingin berteman dengannnya.. Aku ingin membuat memori-memori indah bersamanya.. Aku tak ingin kehilangannya... Dia yang begitu berharga bagiku.. Nathan namanya"
Nathan memegang buku harian itu dengan tangan yang mulai gemetar. Ia berada di halaman terakhir telah ditulisi, dan telah membaca kalimat terakhir yang berada di sana. Bola matanya terpaku pada sosok gadis yang sedang tertidur pulas di mejanya dengan tangan yang masih menggenggam sebuah ballpoint -- ia tertidur saat sedang menulis buku hariannya.
Kesadaran Nathan masih berada di luar tubuhnya. Ia hampir tidak percaya pada apa yang baru saja ia baca, pada sebuah buku yang masih berada di tangannya. Begitu di luar dugaan. Begitu tidak bisa diterima dengan akal sehat. Begitu tidak menyangka ini semua terjadi pada gadis mungil yang tertidur pulas di depannya ini dengan muka polosnya. Apa benar...?
Satu tangan Nathan mendekati kepala gadis itu. Mengusap-usap rambutnya, mencoba membuktikan bahwa dirinya sedang berada di dunia nyata. Lalu perlahan berpindah ke pipinya yang halus, dan gadis itu mulai menggerakkan kepalanya. Ia terbangun.
"Mmmmh... Nathan..?", gadis itu mengucek-ngucek matanya dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Rambutnya berantakan, matanya belum terbuka penuh, dan wajahnya masih belum bisa menunjukkan ekspresi apapun. Khas orang yang baru bangun dari tidurnya.
"Maaf, gue ngebangunin elo ya?"
"Aaah!!", mata gadis itu terbuka lebar dan ekspresinya berubah panik saat melihat buku hariannya kini telah berada di tangan Nathan. Cepat-cepat ia merebut buku harian itu, Nathan tidak memberikan perlawanan, "Nathan baca, ya?!!"
"Iya.. gue baca..", kini wajah Nathan yang menjadi tanpa ekspresi.
"Nathaaann!! Ini diary Ayanaa!! Nathan gabole bacaa! Ini rahasia Ayana!"
"Tapi gue mau tau rahasia lo"
"Nathaannn... yang namanya rahasia itu ya... gaboleh dikasih tau orang lain..cuman Ayana yang boleh tauu"
"Gue bukan orang lain, Ayana! Gue Nathan!", nada bicara Nathan sedikit meninggi, "... Orang yang berharga bagi lo.. ya kan..?", lalu kembali merendah dengan air muka yang penuh arti.
Ayana tak lagi bersuara. Ia mengalihkan tatapan matanya dari wajah Nathan. Dilihatnya buku harian yang ia tulisi setiap hari itu, "Nathan.... Ayana...."
"Gue mau tau rahasia lo, Ayana. Gue mau tau semuanya tentang lo. Gak boleh ada satu pun dari diri lo yang nggak gue tau! Karena lo juga berharga bagi gue, Ayana!"
Ayana tak membalas Nathan.
"Boleh kan gue tau, Ayana...?"
Masih tak ada balasan.
"Apa yang lo tulis itu benar...?"
Kini Nathan menunggu jawaban dari Ayana. Dan akhirnya Ayana memberi jawaban dengan anggukan lemahnya.
"Bisa lo ceritakan apa aja yang lo alami kemaren..?"
Kini Ayana kembali menatap Nathan, "Ayana tau... Kemarin Kak Eloana membuatkan omelet dengan daging ham untuk sarapan, tapi Ayana nggak sempat menghabiskannya karena Ayana bangun kesiangan untuk berangkat ke sekolah.. Ayana dikasih PR Kimia yang Ayana udah kerjakan malamnya sebelum Ayana tidur.. Lalu--"
"Gimana dengan 2 hari yang lalu?", potong Nathan.
Ayana terdiam. Bola matanya bergerak tak menentu mencari jawaban, berusaha mengingat, "Ngg... Ayana... Dua hari yang laluu--..", tangannya hendak membuka catatan hariannya yang kemudian ditahan oleh Nathan.
"Jangan liat diary lo.. coba inget-inget.."
Ayana menunjukkan wajah menyerahnya, "Nggak bisa.... Ayana nggak tau..."
Nathan mencengkram tangan Ayana kuat-kuat, mencari sesuatu yang dapat menguatkan dirinya. Untuk menghadapi kenyataannya.
Kenapa ia baru mengetahuinya sekarang? Kenapa ia tak pernah menyadari suatu kejanggalan pun dari Ayana? Apa selama ini ia terlalu sibuk dengan kesenangannya sendiri bersama Ayana?
Nathan menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan wajah lemahnya. Dari siapapun, walau ia tak bisa menyembunyikannya dari gadis polos di depannya ini.
"Nathan..."
"Ayo kita pulang, Ayana... Gue anter lo sampe rumah lo... sekalian ada yang mau gue pastiin...", mata Nathan berkilat tegar kali ini. Ia mengambil buku harian Ayana dan menarik tangan Ayana yang masih ada dalam cengkramannya. Ayana hanya menurut tanpa mengatakan apapun dan mengambil tasnya dari atas meja. Lalu mereka berdua meninggalkan ruang kelas yang telah kosong itu dengan cepat.